Oleh : Omas Witarsa
Selasa 23 November 2008 jam 07.30 Suasana pagi tampak cerah , matahari benderang menerpa wajah lelah penumpang Bus Kramat Jati, yang kami tumpangi selepas Isya dari Bandung semalam . Perkampungan mulai tampak geliat kehidupannya , tampak anak anak bersepeda dan sebagian lagi berlarian dipinggir jalan yang masih sepi dan pasar Natar yang kami lewati cukup dipadati warga yang berbelanja, tapi kini sudah tidak macet lagi karena ada jalan layang diatasnya .Banyak perkampungan kami liwati seperti Way Baka, Gayam, Blambangan, Bandar lampung, Natar , Branti, Tegineneng, Wates, Terbanggi agung, Gunung Sugih, Rantaujaya, Bandarjaya ! Stop disini.
Menyebut nama kampung berbahasa jawa diantara desa –desa lama membuatku teringat pada nama kampung atau desa di pulau jawa , aku seperti napak tilas kembali ke tahun 1975 yang lalu ketika aku meninggalkan daerah Bandarjaya Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah , untuk kembali ke tanah tanah leluhurku Parahyangan jawa-barat dimana aku dilahirkan ( Kok Kaya lagu dandut nya RHoma Irama Ya !), untuk mengadu nasib. Beberapa kali aku mudik ke Bandar Jaya namun hanya beberapa hari saja sehingga aku tidak sempat mengamati perubahan yang telah terjadi di sepanjang lintas Sumatra ini dengan seksama
.Pasar/Ruko “Siger”Bandarjaya dan Masjid Istiqlal Bandarjaya kini ( November 2008)
“ Stop di Masjid Istiqlal …Pa’ Sopir …!” suara perempuan setengah baya terdengar disela lagu dan pantun Lampung yang disetel dari keping vcd , sang sopir memandang serius lalu menghentikan mobilnya perlahan-lahan.
“ Oh ! disini neng ? “ si Kondektur menyahut sambil senyum menggoda . “ Iya ……Saya turun di Pasar saja …….Cuma mau dagang Brownis kukus saja Kok !” jawabnya tenang sambil tersenyum mereka menurunkan beberapa kardus dan kantong yang berisi barang daganganya dibantu oleh kenek.
Aku tertegun mendengarnya , bayangkan dua orang ibu muda pergi dari Bandung semalaman di Bus, lewat selat Sunda terayun ayun di kapal Ferry hanya untuk berjualan Brownis Kukus yang sedang ngetren dikota Bandung dan di jual di Bandarjaya Lampung tengah ……..luar biasa ……. dahsyatnya semangat mereka dalam berjuang mencari nafkah dengan segala resiko yang dapat terjadi diperjalanan.
Masjid Agung “ Istiqlal ” Kota Bandarjaya nan Megah, Lampung Tengah.(Dok: Omas Witarsa 23/11/2008)
Bus berhenti persis didepan sebuah Masjid yang cukup megah dan membuatku terkesima , karena ada sesuatu yang menarik penampilannya karena ada bulatan merah yang menghiasi sekeliling pagar . setelah penumpang turun kini akupun bersiap turun bersama anakku yang nomor dua Nara namanya. “ Saya turun di depan kantor Polisi Pa’ Sopir ! “ kataku . Lalu tidak berapa lama mobil berhenti di samping kantor Polisi Bandarjaya. Nah dibelakang kantor Polisi Bandarjaya itulah rumahku tinggal keluargaku Keluarga Letnan Moch.Soeparmin atau lebih dikenal denagn sebutan Ibu Parmin tepatnya di Jl. A.Yani no: 5 sudah tampak .Aku terkagum-kagum melihat sekitarku , betapa banyak perubahan yang terjadi , hampir disepanjang jalan desa Bandarjaya, terutama perempatan jalan yang dilalui jalur lintas Sumatra berdiri bangunan bertingkat atau Ruko , begitu menjamur ……..ada apakah Gerangan dengan desa ini?
Wanita bersepeda mengangkut karung berisi hasil bumi, dan berbagai barang menuju ke pasar Bandar jaya , masih seperti tahun 60 an hanya satu yang tidak tampak disini sekarang yaitu “Impala Udin “ atau gerobak Sapi sekarang tidak tampak lagi. Tapi kendaraan bermotor seperti mobil ,Truk besar banyak mengangkut buruh pabrik berlalu-lalang bergantian dengan truk yang memuat hasil bumi; Singkong, tebu dll dan Sepeda motor yang sekarang lebih mendominasi disemua jalan raya. Begitu juga Spanduk Iklan warna-warni bertebaran disana sini menampakkan gairah investasi didaerah Bandarjaya ini.
Masjid Istiqlal diselah barat lapangan bola, Lapangan itu sudah tidak ada berganti dengan bangunan masjid Istqlal yang Baru , disebelah kiri tampak kantor kelurahan Bandarjaya berhias Siger emas.
Masjid istiqlal masa kini pagar berhiaskan Gentong(Padasan) berbentuk “Holo”atau Gernuk (Buah Bernuk atau buah Maja) sering digunakan untuk tempat membawa air minum bila petani pergi ke Ladang , pohon Bernuk dulu banyak tumbuk di Hutan sekitar Bandarjaya
Rumah Bu Parmin (ibuku) jl.Ahmad Yani No:5 Bandarjaya
Suasana rumah memang sepi , tetapi terdengar suara aktivitas didapur. Setelah memberi salam beberapa kali baru ada sahutan dari dalam , muncul adikku Yadik dan keluarga lainnya , suasanapun menjadi agak ramai . Kemudian aku melihat ke kamar ibuku yang sedang sakit , kondisinya demikian menurun drastis tampak sangat tua dan tinggal kulit dan tulang, Tapi ia tampak sadar dalam usianya yang lebih dari 70 tahunan . Aku menciumnya serta menyapanya sambil menggengam tangannya dan dibalas dengan tatapan matanya yang memancarkan kegembiraan, namun tiada kata yang terucap dari bibirnya yang tampak bergerak gerak. Perasaan bersalah langsung mendera hatiku, karena hampi 3 atau 4 tahun aku tidak pulang kampung karena berbagai alasan .
Setelah mandi kemudian sarapan pagi , aku duduk beristirahat sambil menikmati minuman hangat , menghadad ke jalan besar yang sudah mulai ramai dilalui orang dan kendaraan . Memang keadaan dan suasana sudah banyak sekali berubah. Kupandangi gambar didinding Foto keluarga ku terpampang disana. Kenanganku pun Melayang jauh ke masa Sulit berpuluh puluh tahun yang lalu , ketika awal menginjakkan kakiku didesa Bandarjaya ini .
Saat itu Malam yang gelap gulita Kami tiba di Kopel atau Kantor Transad yang ada di Poncowati satu. Perjalanan yang melelahkan kami lakukan dari Bandung tepatnya dari Komplek PPI Jl.Yudhawastu Pramuka 2 No: B 279 kami berangkat dengan menggunakan 2 buah truk militer dari Pusan Infantri untuk mengangkut barang dari 2 keluarga. aku tidak ingat satu atau dua hari tinggal disana , kemudian kami sekeluarga pidah ke Rantaujaya dua dimana didepan rumahnya tumbuh pohon Waru yang sedang berbunga kuning , desa Bandarjaya , dan tinggal dirumah Pak Widho istrinya biasa dipanggil Bu atau mbok Widho membuka usaha Warung Tongseng dan Gule Kambing yang cukup terkenal enak masakannya ke seantero Bandarjaya.Yang rupanya merasa kurang suka kepada kami sekeluarga yang mengotrak dirumah itu, hal itu terungkap apabila ia berbicara dengan tetangga atau kenalanya bahwa ia merasa terganggu karena dirumahnya tinggal keluarga tentara orang Sunda dengan 5 orang anaknya.
Malam yang mencekam.
Baru beberapa hari keluarga kami terpaksa harus menyesuaikan diri dengan udara panas menyiksa , kami terbiasa dengan udara sejuk kota Bandung dan sekarang harus menghadapi iklim udara yang panas di Bandarjaya, gerah terasa siang dan malam , sungguh sebuah penderitaan yang tidak dapat dilupakan sehingga sulit tidur bila tidak dikipasi, belum lagi suasana malam yang gelap gulita tanpa penerangan listrik, serta nyamuk yang besar-besar , semuanya terasa menyiksa dan membuat orang begitu tersiksa, kami dapat tidur setelah jauh malam itupun karena kelelahan.
Ketika siang hari kami juga sering melihat rombongan orang dewasa laki dan perempuan yang membawa hasil buruan , sambil berdendang menyanyikan lagu genjer-genjer, dengan memanggul segala jenis hewan buruan dari hutan; ada babi hutan, ular, menjangan,musang, burung ,ayam hutan, dll mereka membawa berbagai senjata ada tombak , golok , klewang , kampak , Panah , ada juga yang membawa keris ,senjata laras panjang dll keluar dari hutan karet diseberang rumah melalui jalan setapak .
Dua Hari berikutnya , dalam gelap malam , suasana sepi itu dipecahkan oleh suara kaki melangkah serta bentakan dan teriakan –teriakan , kami sempat terbangun ibuku sempat menenangkan kami agar tenang dan mengintip keluar kearah jalan kecil walaupun tidak jelas karena gelap malam , samar-samar tampak di gang sebelah barat warung Tongseng dan Gule itu dan tampak orang berseragam tentara sedang menggiring serombongan orang yang terikat berjalan , sementara di kawal oleh beberapa orang bersenjata, sementara beberapa orang memanggul tongkat –tongkat ber ujung besi runcing seperti mata tombak panjang cukup banyak di ikat menjadi satu , tidak hanya satu atau dua rombongan bahkan lebih, aku tidak tahu apa gerangan yang terjadi maklum usiaku baru 9 tahun.
Beberapa hari kemudian dari obrolan yang aku dengar dari orang-orang tua barulah aku tahu ternyata kejadian malam itu adalah dimana saat orang- orang satu desa yang disangka anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan anggota ormasnya seperti Gerwani dan lain-lainnya ditangkap. Rupanya peristiwa itu merupakan ekses dari peristiwa sebelumnya yang terjadi di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 dimana terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh PKI dengan membantai para Jendral yang berseberangan dengan paham politik PKI.
Sungguh suatu kemurahan Allah bahwa ketika rombongan kami berangkat dari Bandung ke Pelabuhan Merak 2 buah Truk militer yang membawa rombongan kami tidak meliwati Jakarta akan tetapi meliwati Jasinga sehingga kami selamat dari peristiwa pecahnya teror malam gerakan
30 september 1965 di Jakarta , dan kamipun bersyukur ketika kemudian dari dokumen yang disita oleh Kepolisian diketahui ternyata bahwa rencana mereka akan menghabisi semua lawan politik di Terbanggi besar termasuk tokoh masyarakat seperti ulama ,pendeta , anggota Polisi dan Militer termasuk nama ayahku yang tercantum disana, akan dilakukan beberapa hari sebelum nya mereka lebih dulu tertangkap di sebuah desa yang hampir semua penduduknya itu ditangkap karena terlibat dalam kegiatan politik PKI.
Saat Bintang kemukus terlihat di timur, tanda tanda itu ditapsirkan oleh orang-orang dari jawa sebagai bakal datangnya Pageblug (Wabah) akan melanda negeri kita , iklim musim kemarau panjang melanda , Air sumur menjadi kering, tanaman kering kerontang , suasana kondisi ekonomi demikian tidak menentu, Harga beras sangat mahal mencapai harga Rp.2500 perkilo, penduduk terpaksa makan oyek, nasi jagung bahkan gadung sehingga sering terdengan bahwa ada warga yang keracunan gadung atau mabuk gadung, ada juga karena terpaksa seorang ibu menukar anaknya dengan 3 kg beras dan 1 karung gaplek karena tidak dapat member makan . hamper setiap hari terdengar berita ad warga miskin yang meninggal karena gantung diri , suasana jadi kian mencekam .Sementara itu wabah penyakit kulit “Gudig” menyerang demikian menyiksa , penyakit ini menyerang sela-sela jari sangat gatal dan bernanah akibat digaruk, ketika matahari siang mulai hangat kami berjemur dengan jari terbuka , panas matahari terasa nyaman dan sedikit mengurangi rasa gatal pada Gudig itu ,belum lagi serangan serangga kecil berupa kutu ( Tuma katok) menyerang dan bersarang di lipatan celana sangat mengganggu, sehingga pakaianpun sebelum dicuci terpaksa disiram air panas dan sabun atau di jerang . Pengobatan gudik itu dilakukan dengan mengoleskan cairan Penisilin hingga sembuh .
Untuk mengatasi mahalnya harga beras kami masih beruntung karena keluargaku mendapat jatah beras sebagai keluarga militer , Sebagian kami jual untuk menambah lauk -pauk dan membeli beras jagung ( Jagung kering yang sudah ditumbuk) dengan beras dicampur jagung kami menanak nasi menjadi beras jagung untuk penghematan . Sementara itu dari pesawat radio Galindra kamimendengarkan siaran radio RRI yang kami tangkap sayup -sayup sampai ,itupun dengan memasang kabel antene yang kami bentang dari pohon mindi ke pohon waru sepanjang 20 meter ,barulah kami dapat mengkap siaran Radio itu. banyak informasi yang menceritakan tentang keberhasilan Pangkostrad Jendral Suharto memberantas dan menggagalkan Kudeta milter , serta langkah-langkah pemberantasan PKI diseluruh pelosok negeri, bahkan operasi itu juga sampai ke daerah kami, sebuah daerah yang berkembang Bandarjaya adalah Desa yang berkembang pesat karena disana berkumpul para transmigrasi angkatan pertama sekitar tahun 1950an dari berbagai suku ,ada Jawa, Sunda, Bali, Madura dll yang terbagi dalam Blok-blok (kampong) dalam satu kecamatan Terbaggi Besar dan pendatang lain dari luar kota Lampung sendiri, sementara penduduk asli Lampung lebih banyak tinggal di Desa-desa lama seperti Terbanggi, Gunung sugih dll, sehingga tidak sedikit suasana politik didaerah ini juga terbawa pengaruh dari daerah asalnya yaitu episentrum politik jawa ( Jakarta).
Ikan-ikan Besar .
Penangkapan terhadap para anggota organisasi yang terlibat PKI terjadi dimana-mana oleh milter dan Polisi. Suasana keos itu juga rupanya berdampak pada sikap Bu dan Pak Widho sikapnya menjadi baik dan yang beruntung keluarga kami Karena selalu dikirimi masakan gule atau tongseng oleh mereka. Kondisi sulit itu berlangsung terus sampai pada kondisi uang dipotong atau Cenering , uang Rp.1000.-menjadi Rp.1 .
Kemarau mulai berlalu , sungaipun mulai meluap kembali, musim ikanpun datang , berbagai jenis ikan kecil dan besar seperti ikan Gabus, Lele, Keting ( seperti lele namun putih) , wader, dll dari sungai mulai memasuki pasar Bandarjaya , Ibuku pulang dari pasar dan membawa ikan cukup besar maklum kami termasuk beluarga besar 5 orng anak dan 2 orang tua kami , hmm ….makan besar nih …aku berguman dalam hati . Mulailah ibuku membersihkan ikan besar itu , setelah disiram kemudian dibersihkan sisiknya lalu dibelang bagian perutnya lalu dibuka dan tiba-tiba ibuku berteriak sambil bergidig karena terkejut, apa yang terjadi? Ternyata didalam usus ikan yang besar itu terlihat jari tangan yang membuat kami ngeri, ahirnya ikan itu tidak jadi kami masak dan kami kuburkan dikebun belakang . Dan Batal deh makan besar kami.
Ternyata hal yang dialami oleh ibuku itu juga dialami oleh keluarga yang lain , sehingga mereka menjadi trauma untuk membeli ikan besar, dari rumor yang berkembang mereka mengatakan itu adalah bangkai para tahanan yang dieksekusi mati kemudian tercebur ke sungai lalu dimakan ikan …..wallahu alam bisawab … benar tidaknya aku sendiri tidak mengerti.
Dampak dari peristiwa itu , orang-orang mulai meramaikan masjid, pengajian dll, Gereja dan tempat ibadah lainya mulai ramai kembali sebagai perwujudan rasa syukur karena telah lepas dari bencana yang akan melanda.
Waktu berjalan terus , aku sekolah kelas 3 bersama kakak perempuanku dan kakak –kakakku kelas 5 dan kelas 6 sekolah di SD1 negeri Bandarjaya . Kami pindah kontrak rumah masih di rantaujaya dua dekat rumahnya pak Zulkifli , dekat warung pecelnya Mbah Mangun, dekat langgar Pak Sa’I dan tetangga lain yang akhirnya menjadi seperti keluarga sendiri Pak Mantri kesehatan yang bertugas di Puskesmas angkatan darat di daerah Transmigrasi Poncowati satu dan Ibu Sauno sekeluarga. Sementara itu Ayahku masih bertugas sebagai Staf Pelaksana Transmigrasi Angkatan Darat.
Beberapa nama teman SD yang masih ku ingat sebagai teman main embat-embatan pakai bola kasti ; Lukman, Akmal,Imam,Kusmato, Lukman gendut ( terahir th 90an saya sepintas melihat ia di terminal RajaBasa) sayang yang lain aku sudah lupa. Sedangkan Guru SD yang masih ku ingat ; Pak Lamiyo, Pak Jumiran,Pak Muki, ……….siapa lagi ya …aku lupa namanya…..oooo… ia ibu Sumarni…..aku masih ingat …….karena pernah mencarikan rumput untuk kambing peliharaanya yang besar berwarna hitam dan putih ….rumahnya di sebelah puskesmas (kilinik) Bandarjaya.
Kami beberapa kali pindah rumah kontrakan dari Bu Widho bakul tongseng dan gule pindah ke dekat warung pecelnya mbah Mangun , kemudian pindah lagi ke seberang rumah berjarak 3-4 rumah tapi aku lupa rumahnya siapa ya?…….rumahnya Pak Lik…..siapa ya? Dan setelah itu pindah lagi ke belakang kantor Polisi Bandarjaya tepetnya di sebuah Pesanggrahan Angkatan Darat (rumah kuno yang menurut warga sekitar dianggap angker dengan pohon Meranti yang besar dan pohon Kersen ( Cery) dibagian depannya ), karena rumah ini sering digunakan untuk menginap Para Jendral seperti diantaranya Jendral Darmo dll.
Para tamu yang berkunjung karena tugas dari Markas besar angkatan darat ( MABAD) di Jakarta ke Proyek Transad Poncowati satu dan Poncowati dua, bahkan pada tahun 1970an ketika saat itu Presiden Suharto berkunjung ke Poncowati Tim pengamanan presiden dari bagian logistic mempersiapkan air minumnya di rumah ini , sehingga bagi kami rumah ini sagat berkesan karena telah memberikan banyak sekali kenangan , rumah ini telah mengatarkan kami dari dunia anak – anak menuju remaja aku masuk SMP Persiapan Negeri Bandarjaya. DIsebelah pesanggrahan ini sampai ke perempatan terdapat lahan alang-alang , yang akhirnya dibeli oleh ibuku luasnya sekitar 600 meter persegi lebih , setelah dibangun rumah sebagian kemudian ditinggali oleh Ibuku dan adikku Yadik, karena aku pada th 1975 setelah Lulus SMAN Poncowati aku pergi ke Bandung untuk mengadu nasib, karena Ayahku Moch Soeparmin sudah meninggal pada tahun 1973.
Adikku Yadik ( berdiri didepan sebelah kiri) bersama teman SMAN Poncowati berfoto didepan salah satu ruang kelasnya.
( Dok.Omas Witarsa)
Pak Jendral dan pengantarJenajah ayahku (Kapten Moch Soeparmin) , Saat masuk komplek Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.(Dok.Omas Witarsa 1973)
Batu nisan Ayahku TMP Cikutra ,keluargaku dan Bambang keponakanku.(Dok.Omas Witarsa 1992)
Bersambung …